Selasa, 13 April 2010

Kasus I : WC Sekolah

Waktu menunjukan pukul 06.30 WIB, sudah saatnya untuk berangkat sekolah. Aku segera mengangkat tasku yang penuh berisi buku dan sesaat kemudian menunggangi kuda besi dari jepangku untuk menuju ke sekolah.

Namaku Chortz, seorang anak pindahan dari Jakarta. Orang Tuaku adalah pendiri organisasi hitam yang bertujuan membasmi penjahat-penjahat yang tidak tersentuh hukum. Karena suatu hal orang tuaku tidak dapat mempercayai polisi dan memutuskan untuk menanggulangi para penjahat dengan cara mereka sendiri. Aku adalah salah satu agen dari organisasi tersebut dengan kode nama “dark not” dan aku sekarang ditugaskan untuk hidup mandiri di kota yang terletak persis di tengah negara Indonesia yaitu kota Palangka Raya.

“Hai”, sapaku kepada teman-temanku di tempat parkir. Aku pun menuju ke ruang kelasku, kelas XI di salah satu SMU di Palangka Raya.

“Lia, sini kamu”, seorang cewek dengan gaya angkuh memanggil temannya dari kejauhan.
“Belikan aku minuman di kantin sekolah, nggak pakai lama”, katanya seraya menunjuk muka si Lia.
“Baik, Tin”, sambil menunduk Lia pun pergi berlalu ke kantin.
“Busyet, galak amat nih cewek”, batinku.
“Hai, nama kamu Tina ya?”, tebakku sambil menyapa gadis yang tak lain adik kelas ku itu.
“Siapa kamu?”, matanya melotot menatapku.
“Aku Chortz, anak pindahan di sini.”
“Namaku bukan Tina tetapi Titin. Siapa kamu, aku tidak perduli. Lebih baik kamu cepat minggat dari hadapanku”, serunya dengan nada meninggi.

Aku pun masuk ke kelas sambil geleng-geleng kepala. Saat aku duduk di kursi, seseorang menepuk bahuku.
“Hai, anak baru. Ku lihat kamu tadi dibentak sama si Titin ya?
“Iya”, jawabku.
“Namaku Tono, nama kamu Chortz kan?”, katanya seraya menyodorkan tangannya untuk bersalaman denganku.
“Tepat”, kataku sambil menjabat tangannya.
“Kamu nggak usah heran dengan kelakuan si Titin”, katanya setengah berbisik.
“Kenapa?”
“Dia itu anak kepala sekolah kita”
“Ohh, pantas saja dia bisa bersikap seenaknya dengan siswa lain.”, batinku.
“Kau kenal, Lia?”, tanyaku.
“Iya. Lia adalah kerabat Titin dari desa yang menumpang di rumahnya Titin karena ingin bersekolah di sini. Tapi ku dengar-dengar keluarga Titin memperlakukannya dengan kasar. Aku pernah melihat Lia dipukul dan dibentak oleh Titin saat aku berkunjung ke rumahnya untuk menanyakan PR beberapa waktu yang lalu.”
“Perhatian banget, jangan-jangan kamu naksir sama si Lia”, godaku.
“Ahahaha. Dari mana kamu tahu? Aku memang naksir sama dia dari saat dia masuk sekolah ini hingga sekarang. Tapi sekarang dia sudah punya pacar.”
“Siapa pacarnya?”
“Bagas, ketua kelas kita. Entah bagaimana mereka bisa jadian?”, Kata Tono dengan nada cemburu.
“Mungkin dia cowok yang baik, makanya si Lia mau menjadi pacarnya.”, kataku.
“Baik apanya? Dia tidak pernah membela pacarnya saat ditindas Titin.”
“Kalau Titin, siapa pacarnya?” tanyaku.
“Mana ada yang mau sama Titin yang judes begitu. Lagipula orang tuanya sangat protektif. Dia dilarang oleh ayah ibunya untuk pacaran.” Katanya sambil pergi ke bangkunya karena guru matematika kami yang berwajah galak, Pak Angga telah masuk ke dalam kelas.

Pukul 13.00 WIB, bel sekolah berbunyi menandakan waktunya pulang. Semua siswa segera berebutan keluar kelas.
“Nggak pulang?”, Tono bertanya padaku.
“Kayaknya aku tinggal di kelas sebentar lagi karena aku belum selesai mencatat materi di papan tulis.”, jawabku.
“Rajin amat, aku saja tidak mencatat. Oke deh, aku pulang duluan ya.” Tono berpamitan padaku.

Tak sampai sepuluh menit kemudian saat aku sedang mempersiapkan diri untuk pulang, tiba-tiba Tono dengan nafas terengah-engah menghampiriku.
“Gawat Chortz!!!”, serunya sambil menarik tanganku.
“Kamu mau membawa aku ke mana?” tanyaku.
“Pokoknya ikut saja”
Tampak Pak Angga dan beberapa orang siswa sedang berkerumun di WC wanita yang terletak di pojok sekolah.
“Ada apa ini?”, tanyaku kepada Tono.
“Titin ditemukan pingsan berlumuran darah di dalam WC karena pukulan botol minuman di kepalanya. Bagas yang menemukannya terlebih dahulu dan melaporkannya kepada Pak Angga.”
“Bagas, kamu tahu siapa pelakunya?”, tanya Pak Angga.
“Maaf, Pak. Saya tidak tahu pelakunya siapa. Saya hanya menemukan Titin telah terkapar di sini dan dia sudah pingsan”, jawab Bagas.
“Sakit”, gumam Titin sambil memegang kepalanya yang berdarah. Tampaknya dia mulai siuman.
“Titin, siapa pelakunya?” tanya Pak Angga.
“Lia, Pak”, dengan suara yang lemah dia menunjuk Lia.
“Apa benar itu Lia?”
“Bukan, Pak. Bukan saya pelakunya.” Isak Lia.
“Ah, jangan bohong kamu. Kamu akan dikeluarkan dari sekolah ini karena telah melakukan tindak kekerasan kepada temanmu.” Pak Hasan membentak Lia.
“Tolong Lia, Chortz. Aku yakin dia tidak bersalah. Pasti ada kesalahpahaman di sini.” Tono memohon padaku.
“Maaf, Pak. Saya yakin bukan Lia pelakunya”, aku mulai ikut berbicara.
“Tidak usah kau bela orang yang bersalah ini.” Kata Pak Angga dengan nada tinggi.
“Anda telah melewatkan tiga fakta penting, Pak. Saya sudah tau apa yang terjadi dan siapa pelaku yang sebenarnya. Saya harap Bapak tenang dan biarkan saya menjelaskan kasus ini. Karena bila Bapak salah mengambil keputusan maka satu orang akan kehilangan masa depannya”, kataku dengan sorot mata tajam.

Apakah yang sebenarnya terjadi dan siapakah pelakunya?

Silahkan menjawab dan menebak dengan memberikan komentarnya. :)

Untuk memberi komentar, silahkan menggunakan anonim atau google account anda. Bila belum ada google account silahkan buat di http://gmail.com

10 komentar:

  1. kepalanya Titin berdarah karena jatuh kepeleset di kamar mandi. kebetulan dia bawa botol minuman.pas kepeleset otomatis botolnya jatuh trus pecah.trus karena dia malu,dia jadi nyalahin Lia,saudara yg dibencinya.

    BalasHapus
  2. waduh masih jauh analisanya,. kalau dia jatuh kepeleset, nggak sampai pingsan kan?

    BalasHapus
  3. ada yang aneh kenapa bagas ada di sana pada saat kejadian padahal temay kejadian adalah wc wanita

    BalasHapus
  4. Karena sudah terjawab di yahoo answer. Maka saya kasih jawabannya.

    Baik, silahkan kamu jelaskan apa yang telah terjadi.” Kata Pak Angga.
    “Fakta pertama , Lia tinggal di rumah Titin karena dia ingin bersekolah di sini. Lia rela diperlakukan kasar dan bersabar hanya agar dia dapat terus bersekolah di sini.”, kataku.
    “Pasti Lia ini ingin balas dendam kepada Titin karena sering memperlakukannya secara kasar, sehingga dia memukul kepala Titin dengan botol minuman.”, Pak Angga kembali terlihat gusar.
    “Hal tersebut mungkin saja, tetapi alangkah bodohnya si Lia jika berbuat seperti itu. Apalagi secara terang-terangan dengan resiko dikeluarkan dari sekolah. Sia-sialah dia bersabar selama ini. Selain itu masih ada dua fakta lagi, Pak.”, jawabku.
    “Fakta ke dua, ini adalah WC wanita.”, lanjutku.
    “Apa hubungannya WC wanita dengan kasus ini?”, tanya Pak Angga.
    “Karena ini adalah WC wanita, secara logis hanya wanita lah yang punya niat masuk ke sini. Pria pasti tidak akan masuk ke dalam WC wanita. Tapi dalam kasus ini Bagas terlebih dahulu menemukan si Titin. Bagaimana dia bisa tau bahwa Titin sedang pingsan di WC wanita kalau dia tidak masuk ke dalamnya. Seharusnya seorang wanitalah yang terlebih dahulu menemukan si Titin.” Terangku.
    “Masuk akal juga, tolong lanjutkan.”, kata Pak Angga serius.
    “Fakta ke tiga. Titin menunjuk kepada Lia sebagai pelakunya tapi anehnya, Bagas sebagai pacar Lia tidak membela Lia sama sekali. Seandainya dia memang tidak tahu siapa pelakunya, pasti dia akan membela Lia karena dia adalah pacarnya dan tentu saja karena asas praduga tidak bersalah.”
    “Lalu siapa pelaku pemukulannya?”, tanya Pak Angga lagi.
    “Saya yakin Bagas lah pelakunya, Pak.”, kataku tegas.
    “Apa buktinya kau menuduhku sebagai pelakunya? Bukankah Titin sudah mengatakan bahwa Lia yang telah memukulnya.”, Bagas membantah tuduhanku.
    “Kamu terlebih dahulu menemukan Titin di sini. Seharusnya seorang wanitalah yang pertama kali menemukannya. Kamu menemukannya pertama kali karena kamulah pelakunya. Tentu saja Titin mengatakan bahwa Lia pelakunya karena dia ingin melindungimu.”, jawabku.
    “Untuk apa dia melindungiku?”, tanya Bagas.
    “Titin berada di bawah kondisi di mana dia harus melindungimu.”, jawabku dengan tenang.
    “Huaaaa..”, Titin menangis meraung.
    “Maafkan aku Lia, maafkan aku. Aku dari dulu memperlakukanmu kasar karena statusmu adalah pacar Bagas sementara Bagas sebenarnya adalah milikku. Aku dan Bagas, pacaran diam-diam karena aku takut ketahuan orang tuaku. Aku sekarang sedang mengandung anak Bagas. Aku meminta Bagas datang ke sini untuk memberitahunya dan memintanya bertanggung jawab. Namun Bagas tidak mau bertanggung jawab dan memintaku untuk menggugurkan kandunganku. Aku tidak mau dan terus mendesaknya agar bertanggung jawab sehingga dia menjadi emosi dan memukulku dengan botol minuman. Aku mengatakan bahwa kamu adalah pelakunya karena aku tidak ingin Bagas dikeluarkan dari sekolah.”, kata Titin sambil menangis.
    “Demikian akhir dari penjelasannya, Pak. Saya harap Bapak bisa menyelesaikan masalah ini dengan bijak”, kataku sambil berlalu.

    BalasHapus
  5. tampaknya terlalu mudah,. Kasus ke dua akan lebih sulit lagi. Tunggu postingan selanjutnya. (semoga besok sudah kelar) Thanks atas partisipasinya,.

    BalasHapus
  6. Menurut feeling aku juga pelakunya adalah Bagas atau Titin sendiri.. Cuma kalo Bagas aq blum menemukan alasan yang tepat jd kupikir Titin pelakunya.. Eh ternyata Bagas..hehehe

    BalasHapus
  7. Kasus keduanya mana nih penasaran haha

    BalasHapus
  8. sebuah judul dijadikan kunci dalam penulisan sebuah kasus...cerdas...

    BalasHapus